Senin, 27 Februari 2017

KELEMAHAN PEMERENTAH DESA BILOK PETUNG

Diberlakukannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 menunjukkan terjadinya pergeseran paradigma penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dari semula bersifat sentralistik, deterministik, monolistik kemudian bergeser kearah desentralistik, interaktif dan pluralistik. Namun dengan kondisi yang sepertinya dipaksakan, maka yang muncul kemudian adalah terjadinya berbagai macam konflik di kalangan masyarakat bawah khususnya BPD dan Kepala Desa. BPD sebagai badan legislatif tingkat desa merupakan penyalur resmi aspirasi masyarakat desa, kurang bisa memahami peran dan posisinya dalam pemerintahan desa. Kepala desa sebagai pelaksana pemerintahan di desa mempunyai wewenang dan kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan sehari-hari. Namun setelah sekian tahun tidak pernah ada yang mengusik, mengkritik, dan mengganggu jalannya pemerintahan desa, dengan munculnya BPD keadaan tersebut berbalik, setiap gerak-gerik dari kepala desa dan aparatnya harus transparan.

Setiap keputusan kepala desa yang bersifat mengatur dan mempunyai akibat pembebanan terhadap masyarakat harus dimusyawarahkan dengan BPD. Aturan-aturan dan pola-pola yang dibuat oleh pemerintah desa harus didasari pada pemahaman yang menyeluruh dan mendapat persetujuan BPD sebagai representasi rakyat desa, dan tidak lagi didasarkan pada pemahaman yang sentralistik sekaligus seragam. Namun masyarakat desa belum bisa menerima keberadaan aturan baru sebagaimana yang dimaksudkan dalam Undang-Undang Otonomi Daerah tersebut. Akibatnya muncul berbagai macam konflik antara BPD dengan pemerintah desa.

Beberapa konflik yang sering muncul antara kepala desa dan BPD di wilayah Kecamatan Kotaanyar adalah konflik dalam penyusunan APBD desa, penyelesaian masalah tanah kas desa, pembuatan perdes, pembuatan Laporan Pertanggungjawaban Kepala Desa (LPJ Kepala Desa), dan pungutan swadaya masyarakat dan lain sebagainya. Aneka masalah baru yang bermunculan antara lain format keanggotaan BPD, protes dari kepala desa, hingga mulai maraknya politik uang (money politics) dalam proses pemilihan anggota BPD dan kekerasan politik.

Seharusnya anggota BPD tidak hanya mencampuri dan mengurusi hal-hal tersebut, tetapi memberikan masukan pada pemerintah desa bagaimana memajukan masyarakat desa, seperti bagaimana meningkatkan peran masyarakat dalam pembangunan, bagaimana masyarakat desa lebih berdaya, bagaimana mengatasi gagal panen, bagaimana mengatasi demam berdarah, dan berbagai macam persoalan lain. Permasalahan seperti ini yang menjadikan beban kepala desa semakin besar dalam melaksanakan pemerintahan desa. Beban permasalahan tersebut menjadi semakin berat dengan keberadaan BPD yang tidak bisa bekerja sama dengan pemerintah desa dikarenakan setiap anggota BPD dan Kepala desa mempunyai kepentingan sendiri-sendiri yang belum tentu sama.

Disisi lain adanya keterbatasan budget yang dimiliki oleh pemerintah desa menjadikan lembaga BPD menekan kepala desa khususnya dalam penyusunan APBD. Dan akan menjadi kendala lagi bila muncul anggapan bahwa program pemerintah hanya merupakan beban bagi masyarakat bawah. Hal ini disebabkan karena mereka merasa program-program itu bukan untuk kepentingan mereka. Sebab Lembaga BPD tidak lebih hanya dijadikan tempat lawan-lawan politik kepala desa ketika melakukan pemilihan untuk melawan kebijakan kepala desa. Karenanya keberadaan Badan Pemerintahan Desa (BPD) yang dinilai sebagai salah satu terobosan demokratisasi dan otonomi desa, ternyata malah memunculkan masalah baru di tingkat desa. Padahal, pembentukan BPD diharapkan dapat mengembangkan dinamika politik lokal (desa) sekaligus mengembangkan sosial ekonomi.

Hal tersebut menimbulkan preseden buruk di kalangan masyarakat bawah mengenai pembentukan BPD, yakni pembentukan BPD benar-benar hanya sebagai terobosan dalam berdemokrasi dan sekaligus hanya sekadar 'obat penenang' bagi masyarakat yang sedang panas. Hal lain adalah otonomi desa justru mengacaukan desa, padahal desa itu sudah otonom. Kas pengeluaran desa bertambah karena pembiayaan BPD ditanggung oleh desa. Bisa juga terjadi konflik pemilikan aset desa, serta hal lain yang dapat berdampak pada polarisasi kehidupan masyarakat dan ketidakharmonisan hubungan antara lembaga pemerintahan desa.

Adanya kewenangan BPD yang berlebihan karena berkaca pada kewenangan DPR. Dengan mengidentikkan diri sebagai legislatifnya desa membuat perannya berkesan arogan. BPD yang seharusnya berkedudukan sejajar dan menjadi mitra pemerintah desa menjelma menjadi momok pemerintah desa. Kepala desa dan perangkat ketakutan apabila sewaktu-waktu dijatuhkan BPD. Ini karena fungsi BPD sebagai pengayom kelestarian adat, legislasi, pengawasan (pengawasan pelaksanaan peraturan desa, APBD dan keputusan kepala desa) serta menampung aspirasi rakyat menjadi kabur. Pengawasan juga diartikan meliputi kinerja perangkat desa, termasuk segi positif kepala desa dan perangkat, sehingga akan memacu etos kerjanya sebagai pelayan masyarakat. Namun di sisi lain tidak jarang ditunggangi unsur subjektif, yaitu suka atau tidak suka, apalagi bila merupakan imbas pemilihan kepala desa yang dapat memicu ketidakharmonisan hubungan antara BPD dan pemerintah desa.

Reformasi yang dilakukan selama ini, pada dasarnya masih belum menyentuh akar masalah yang dihadapi oleh rakyat. Akan tetapi gema atmosfer reformasi yang melanda masyarakat Kotaanyar pada dasarnya telah membawa akibat yang seksama di tingkat desa, khususnya pada apa yang disebut dengan perubahan politik lokal. Jika pada periode sebelumnya partai politik tidak mendapat tempat, maka kini partai politik menjadi komponen yang sangat penting di desa-desa, selain birokrasi desa yang masih mempunyai sisa-sisa kewibawaan. Perubahan seperti itu sebenarnya sudah relatif lama berlangsung, khususnya di desa-desa yang terjadi konflik.

MUSTIAWAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar